Pemerintah juga sudah melarang impor sampah plastik sebagai bahan baku industri daur ulang
Jakarta (SOHIB21) – Ketika ilmuwan asal Belgia dan “bapak” dari industri plastik Leo Baekeland menemukan plastik sintetis pertama di dunia pada 1907, tidak ada yang menyangka penemuan itu akan memunculkan dilema antara manfaat dan dampak yang ditimbulkannya kepada lingkungan dan manusia.
Plastik merupakan material yang dikembangkan secara luas pada abad ke-20, dimulai dengan penggunaan beberapa ratus ton pada 1930-an. Data yang diolah
Selain memiliki banyak manfaat yang dirasakan di beragam sendi kehidupan masyarakat, plastik juga menjadi sumber masalah bagi lingkungan yang pada akhirnya akan berdampak pula pada manusia. Terutama ketika terus diproduksi, plastik virgin atau plastik baru memerlukan minyak bumi dan gas alam.
Bertambah pelik ketika plastik, yang tidak dapat terurai dengan alami dan membutuhkan waktu ratusan tahun untuk terurai sempurna di alam, berakhir menjadi sampah yang mengontaminasi beragam ekosistem karena belum optimalnya pengelolaan sampah.
Isu itu juga dihadapi Indonesia. Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) milik Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) memperlihatkan sampah plastik menjadi penyumbang kedua terbesar komposisi timbulan sampah nasional setelah sisa makanan.
Data SIPSN memperlihatkan, pada 2024 terdapat 31,2 juta ton sampah yang dihasilkan dari 286 kabupaten/kota, dengan 19,73 persen di antaranya adalah sampah plastik. Tidak semuanya berhasil diolah untuk daur ulang, masih banyak yang bocor ke lingkungan dan berdampak kepada ekosistem tidak hanya di kota-kota besar tapi juga perairan di pulau-pulau kecil.
Hal itu dapat terlihat dari hasil temuan Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) yang menemukan mikroplastik di perairan Kepulauan Seribu tidak jauh dari Jakarta. Mikroplastik adalah potongan plastik berukuran mikro yang dihasilkan dari penguraian plastik tidak sempurna, biasanya berukuran kurang dari 5 milimeter sampai dengan 1 mikron.
Hasil uji dari sampel yang dikumpulkan dari Pulau Untung Jawa, Pulau Onrust, dan Pulau Cipir pada 22 Februari menemukan fakta seluruh sampel yang diuji mengandung serpihan mikroplastik. Mikroplastik tidak hanya ditemukan di perairan yang mengitari pulau-pulai itu, tetapi juga di permukaan daun tanaman hingga swab kulit yang dilakukan ke masyarakat setempat.
Rafika Aprilianti selaku Kepala Laboratorium Ecoton, organisasi nirlaba yang bergerak dalam studi konservasi lahan basah dan anggota dari AZWI, mengatakan bahwa temuan itu memperlihatkan bahwa pencemaran plastik sudah menyebar tidak hanya mencemari laut dan sungai tapi juga di tubuh manusia.
Rafika menjelaskan bahwa penemuan mikroplastik dalam bentuk fiber dari kain, film dari plastik tipis lentur, fragmen dari plastik keras, serta foam dari styrofoam dan busa sintetis mengindikasikan bahwa sumber pencemaran sampah plastik berasal baik dari limbah domestik, aktivitas wisata, maupun pembakaran sampah.
“Fakta bahwa mikroplastik menempel pada kulit manusia menjadi bukti bahwa paparan terhadap polutan ini tidak hanya terjadi melalui makanan dan minuman, tetapi juga melalui kontak langsung dengan lingkungan,” katanya.
Penemuan mikroplastik di ekosistem perairan itu memiliki dampak berantai. Dimulai dari partikel mikroplastik masuk ke dalam satwa laut yang kemudian dikonsumsi manusia dan kemudian menumpuk di tubuh. Mikroplastik juga dapat masuk ke tubuh manusia melalui cara lain, termasuk lewat pernapasan dan paparan terhadap benda berbahan plastik yang mengalami pelapukan.
Mikroplastik juga dapat masuk ke tubuh melalui salah satu kegiatan sederhana, yaitu minum teh. Penelitian yang dilakukan Ecoton pada lima brand teh celup juga menemukan bahwa kantong teh celup dapat melepaskan mikroplastik ke dalam teh karena ada proses pemanasan.
Dia menyebut komposisi jenis plastik mempengaruhi ketahanan plastik terhadap faktor eksternal seperti panas dan gesekan, yang pada akhirnya berpengaruh terhadap tingkat penguraian yang menghasilkan mikroplastik.
Dampaknya tidak main-main, mikroplastik yang masuk dalam tubuh manusia dapat mengendap di saluran pernapasan, pencernaan, serta organ lain. Endapan itu terjadi karena mikroplastik merupakan benda asing bagi tubuh yang tidak dapat dicerna atau diserap, sehingga menimbulkan iritasi.
Iritasi berkepanjangan dapat mengakibatkan peradangan yang pada akhirnya bisa memicu timbulnya tumor bahkan kanker.
Untuk itu dia mengharapkan bahwa temuan-temuan tersebut dapat menjadi alarm bagi pemangku kepentingan terkait pentingnya pengelolaan sampah yang lebih baik serta pengurangan penggunaan plastik sekali pakai sangat diperlukan untuk melindungi lingkungan dan kesehatan manusia.
Pemerintah menyadari betul dampak mikroplastik dan korelasinya dengan pengelolaan sampah, sehingga penanggulangan sampah plastik menjadi salah satu fokus dari pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
Pemantauan sudah dilakukan oleh pemerintah dalam beberapa tahun terakhir, dilakukan oleh Deputi Bidang Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) yang berada di bawah KLH.
Dengan hasil pemantauan pada 2024 di 24 provinsi memperlihatkan kelimpahan mikroplastik di permukaan air berada pada rentang 0,122 partikel/m3 sampai dengan 4,880 partikel/m3. Sedangkan untuk sampel sedimen pantai, kelimpahan mikroplastik ditemukan pada rentang 16,667 partikel/kg sampai dengan 700 partikel/kg.
Fakta tersebut menjadi perhatian Menteri Lingkungan Hidup (LH) Hanif Faisol Nurofiq yang mengatakan pihaknya kini tengah melakukan sejumlah langkah untuk menangani persoalan sampah. Hal itu juga mengingat tingkat pengelolaan sampah di Tanah Air pada 2023 baru mencapai 39,01 persen, dengan 60,99 persen belum terkelola dengan baik dan berpotensi bocor ke ekosistem termasuk ke perairan.
Secara khusus Hanif menyoroti data Sekretariat Tim Koordinasi Nasional Penanganan Sampah Laut (TKN-PSL) yang menunjukkan pada 2023 capaian pengurangan sampah plastik ke laut telah mencapai 41,68 persen, atau setara dengan pengurangan 359.061 ton sampah plastik yang bocor ke laut. Kondisi itu masih di bawah target 2023 yaitu 50,80 persen dan masih terdapat
Keberadaan sampah laut dapat menimbulkan berbagai dampak negatif bagi lingkungan dan makhluk hidup, tak terkecuali manusia. Lebih spesifik, meningkatnya sampah plastik di laut menimbulkan perubahan iklim, kerusakan alam, dan polusi yang berpotensi menjadi bencana besar seperti risiko kesehatan manusia akibat paparan mikroplastik dan terancamnya lebih dari 800 spesies laut dan pesisir akibat memakan plastik dan terjerat sampah plastik.
Untuk itu, Hanif mengatakan, menghadapi masalah sampah laut yang begitu besar, dibutuhkan aksi kolaborasi dari semua pihak.
KLH sudah mulai melakukan penertiban TPA yang masih menimbun secara terbuka, salah satunya dengan rencana menerbitkan sanksi administratif paksaan pemerintah kepada 343 TPA untuk memastikan perbaikan oleh pemerintah daerah.
Pihaknya juga menggandeng produsen untuk menekan produksi kemasan sekali pakai dan memastikan produsen ikut bertanggung jawab dalam pengurangan sampah plastik. KLH baru-baru ini sudah menyurati para produsen untuk segera menyelesaikan denah pengurangan sampah.
Pemerintah juga sudah melarang impor sampah plastik sebagai bahan baku industri daur ulang untuk mengoptimalkan upaya pengumpulan dari dalam negeri.
Di sisi lain, praktik penggunaan ulang juga terus didorong oleh pemerintah. Direktur Pemulihan Lahan Terkontaminasi dan Tanggap Darurat Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun dan Non-Bahan Berbahaya dan Beracun KLH Vinda Damayanti Ansjar menyebut daur ulang bukanlah satu-satunya solusi dalam mengatasi persoalan sampah plastik.
Perlu upaya lain yang berkelanjutan sesuai prinsip hirarki pengelolaan sampah dan prinsip ekonomi sirkular yang harus dilakukan secara bersamaan dan harmonis. Di situlah pemerintah mendorong penerapan prinsip penggunaan kembali atau
Hal itu karena posisi penggunaan kembali merupakan salah satu prioritas pertama dalam tahapan pengelolaan sampah maupun prinsip ekonomi sirkular. Karena dengan penggunaan kembali dapat menghindari timbulan sampah secara langsung dan menghemat penggunaan bahan baku plastik baru.
Salah satu yang bisa dilakukan adalah dengan penggunaan ulang kemasan dan juga penggunaan wadah ulang untuk bisnis hotel, restoran dan kafe serta katering. Langkah ini didukung KLH dengan mempersiapkan regulasi teknis terkait kewajiban pengelola kawasan untuk mengelola sampahnya.
Terdapat pula potensi sistem di mana produk yang dibeli dan dikonsumsi di tempat lain, kemasannya dapat dikumpulkan melalui sistem logistik yang dikembangkan serta sistem layanan berlangganan produk. Terdapat juga potensi sistem di mana kemasan dipinjamkan dan dikembalikan sebagai bagian dari jasa langganan serta melakukan isi ulang di toko atau
Keterlibatan pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat diperlukan dalam semua langkah dan wacana pengurangan sampah plastik itu untuk menekan timbulannya di Indonesia. Demi memastikan terpenuhinya hak masyarakat untuk lingkungan yang bersih dan sehat, sebuah modal penting mewujudkan visi Indonesia Emas 2045 yang dicanangkan oleh pemerintah.
Editor: Sapto Heru Purnomojoyo
Leave a Reply