Perbedaan hisab dan rukyat dalam penetapan awal puasa Ramadhan

Jakarta (SOHIB21) – Setiap tahun, umat Islam di seluruh dunia menantikan datangnya bulan Ramadan, bulan yang penuh berkah dan penuh ampunan. Namun, ada satu hal yang selalu menjadi perbincangan menjelang bulan suci ini, yaitu penentuan awal Ramadan.

Metode yang digunakan untuk menetapkan awal bulan Hijriyah terbagi menjadi dua pendekatan utama, yakni hisab dan rukyat. Meskipun keduanya memiliki tujuan yang sama, yaitu menentukan kapan bulan Ramadan dimulai, pendekatan yang digunakan dalam metode ini memiliki perbedaan.

Metode rukyat didasarkan pada pengamatan langsung terhadap hilal atau bulan sabit muda yang muncul setelah matahari terbenam. Cara ini mengharuskan pengamat untuk melihat hilal dengan mata telanjang atau menggunakan alat bantu seperti teleskop.

Jika hilal terlihat pada hari ke-29 dalam kalender Hijriyah, maka bulan baru dimulai keesokan harinya. Namun, jika hilal tidak tampak, maka bulan berjalan akan digenapkan menjadi 30 hari.

Rukyat memiliki dasar yang kuat dalam ajaran Islam. Banyak hadis Nabi Muhammad SAW yang menegaskan pentingnya melihat hilal dalam menentukan awal bulan Ramadan dan Syawal.

Dalam praktiknya, metode ini digunakan oleh Nahdlatul Ulama (NU) dan beberapa negara Muslim yang masih mengandalkan pengamatan visual dalam menetapkan awal bulan Hijriyah.

Namun, metode rukyat tidak lepas dari tantangan. Cuaca buruk, polusi udara, atau posisi hilal yang terlalu rendah di ufuk dapat menghambat pengamatan, sehingga bisa terjadi perbedaan dalam penentuan awal Ramadan di berbagai wilayah.

Berbeda dengan rukyat yang bergantung pada pengamatan langsung, metode hisab menggunakan perhitungan astronomis untuk menentukan awal bulan Hijriyah.

Dalam metode ini, data tentang posisi bulan, matahari dan faktor astronomis lainnya digunakan untuk menghitung kapan hilal seharusnya sudah muncul di langit, meskipun belum tentu terlihat oleh mata manusia.

Hisab terdiri dari beberapa metode, salah satunya adalah hisab hakiki wujudul hilal yang dipakai oleh Muhammadiyah. Dalam pendekatan ini, awal bulan Hijriyah ditetapkan berdasarkan tiga syarat utama:

    Dengan pendekatan ini, metode hisab dapat memberikan kepastian lebih awal tanpa perlu menunggu laporan pengamatan hilal. Oleh karena itu, Muhammadiyah sering kali mengumumkan tanggal awal Ramadan dan Idul Fitri jauh sebelum pemerintah menetapkannya.

    Di Indonesia, Kementerian Agama menggabungkan kedua metode ini untuk memastikan keputusan yang lebih akurat dan bisa diterima oleh semua pihak.

    Dalam sidang isbat, pemerintah menggunakan data hisab untuk memperkirakan kemungkinan terlihatnya hilal, tetapi tetap melakukan rukyat untuk mengonfirmasi hasil perhitungan tersebut.

    Pendekatan ini diadopsi berdasarkan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 2 Tahun 2004, yang menyatakan bahwa penetapan awal Ramadan, Syawal, dan Zulhijah harus mempertimbangkan baik metode hisab maupun rukyat.

    Dengan demikian, keputusan yang diambil bisa mengakomodasi berbagai pandangan dan meminimalkan perbedaan di kalangan umat Islam.

    Pewarta: Allisa Luthfia


    Comments

    Leave a Reply

    Your email address will not be published. Required fields are marked *