kekayaan bahasa ibu kian hari kian sunyi penuturnya, bahkan tidak sedikit bahasa ibu yang kini menjadi bisu atau punah
Jakarta (SOHIB21) – “
(“Tiba waktunya untukmu, Saut. Sudah berguguran bunganya.”)
(Kupandangi beberapa helai bunga berwarna putih yang dibawa Kakek dan kini berserak di tikar.)
“
(“Sudah siap, Saut? Hari Senin nanti kita berangkat.”)
Begitulah paragraf awal pembuka petualangan Saut anak petani Kemenyan Toba dari Kabupaten Humbang Hasundutan yang belajar menyadap getah
Petualangan Saut dan kedua temannya dimulai saat sang kakek memberitahu Saut kalau pohon kemenyan milik keluarga mereka sudah menggugurkan bunga dan siap untuk disadap getahnya.
Karena didorong rasa penasaran, Saut bersama kedua temannya pun memutuskan untuk masuk ke dalam hutan kemenyan, mengikuti sang kakek yang akan melakukan
Mereka pun ikut membangun pondok dan bermalam di tengah hutan kemenyan sebelum akhirnya memanjat pohon tersebut satu per satu di pagi hari.
Cerita kemudian dilanjutkan dengan petualangan Andin. Ia adalah anak perempuan asal Bumi Melayu Jambi yang secara tidak sengaja bertemu dengan biksu asal Negeri Tiongkok dari abad ketujuh masehi saat ia dan kedua orang tuanya mengunjungi Candi Muarajambi.
Selain petualangan keduanya, ada delapan kisah petualangan anak-anak lain dari tiap pulau di Indonesia dalam
Kesepuluh kisah petualangan anak-anak dari Pulau Sumatra hingga Papua itu dihadirkan dalam bahasa ibu serta aksara daerah asal cerita tersebut, lengkap dengan ilustrasi berwarna dan terjemahan dalam bahasa Indonesia maupun bahasa PBB.
Bahasa ibu atau bahasa daerah tidak hanya sekedar alat untuk berkomunikasi pada masanya.
Bahasa ibu dalam pemaknaan yang lebih dalam justru mengandung filosofi, kearifan serta pandangan hidup masyarakat penuturnya.
Dalam pemetaan yang telah diidentifikasi dan divalidasi, Indonesia memiliki 718 bahasa, 778 dialek, 43 subdialek dan 248 kamus bahasa daerah dari 2.560 daerah pengamatan di Indonesia.
Sayangnya, kekayaan bahasa ibu kian hari kian sunyi penuturnya, bahkan tidak sedikit bahasa ibu yang kini menjadi bisu atau punah.
Penelitian yang dilakukan oleh Badan Bahasa Kemendikdasmen pada tahun 2017 menyimpulkan sebanyak 11 bahasa daerah di Indonesia telah punah, dengan Maluku sebagai wilayah yang paling banyak mengalami degradasi bahasa daerah.
Di antara bahasa yang telah punah itu adalah bahasa Tandia dan Mawes di Papua, serta bahasa Kajeli, Piru, Moksela, Hukumina, Hoti, Nila, dan bahasa Serua di Maluku dan Maluku Utara.
Tak hanya itu, penelitian yang sama juga menyimpulkan ada 25 bahasa daerah di Indonesia yang terancam punah, dan enam dalam kondisi kritis.
Penyebab utamanya tentu tak jauh dari semakin sedikitnya maestro bahasa ibu dari tiap wilayah, lalu berkelindan dengan minimnya minat generasi muda untuk mempelajari dan menggunakan bahasa ibu dalam keseharian mereka.
Berangkat dari kondisi mengkhawatirkan tersebut, Badan Bahasa Kemendikdasmen terus melakukan berbagai upaya untuk melindungi bahasa ibu dari ancaman kepunahan.
Seolah tak cukup memasukkan bahasa ibu ke dalam muatan lokal kurikulum di sekolah, Badan Bahasa Kemendikdasmen pun melakukan terobosan revitalisasi bahasa ibu dengan menghadirkan Festival Tunas Bahasa Ibu sejak tahun 2022.
Kehadiran festival tersebut tidak hanya menjadi media untuk mengenalkan bahasa ibu kepada generasi muda, tetapi juga merangkul minat mereka terhadap kompetisi yang sehat dan kreatif.
“Kami memang melakukan pendekatan baru terhadap konsep revitalisasi bahasa ibu karena menyasar generasi muda, para tunas muda yang memang masih memiliki potensi untuk mempelajari bahasa daerah, namun dengan cara yang menyenangkan, sesuai dengan konteks, harapan, keinginan, dan juga kesukaan mereka,” kata Kepala Badan Bahasa Kemendikdasmen Hafidz Muksin di Jakarta pada Jumat (28/2).
Ia menyebutkan festival tersebut secara khusus diperuntukkan bagi tunas-tunas muda yang duduk di bangku pendidikan sekolah dasar dan menengah sehingga dapat menumbuhkan minat dan sikap positif terhadap penggunaan bahasa ibu sejak usia dini.
Pihaknya telah menyiapkan sederet perlombaan berjenjang dari tingkat sekolah, kecamatan, kabupaten, provinsi, hingga nasional dalam Festival Tunas Bahasa Ibu setiap tahunnya.
Perlombaan tersebut, diantaranya mendongeng cerita daerah, menyanyikan lagu daerah, menulis dan membaca puisi, menulis cerita pendek, berkomedi tunggal, berpidato hingga menulis aksara yang keseluruhannya dilakukan dalam bahasa ibu masing-masing.
Untuk membakar semangat dan minat generasi muda pada bahasa ibu, pihaknya pun menyediakan sertifikat apresiasi yang terdaftar dalam Manajemen Talenta Nasional bagi para pemenang lomba Festival Tunas Bahasa Ibu di tingkat provinsi.
Sertifikat tersebut, lanjutnya, dapat digunakan untuk mendaftar ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi melalui jalur prestasi.
Selain itu, para pemenang lomba menulis cerpen yang memiliki minat dan bakat dalam penulisan kreatif juga berkesempatan untuk mengikuti Kemah Cerpen atau pelatihan langsung dengan para maestro bahasa ibu dan sastrawan kenamaan Tanah Air selama satu minggu.
Tidak berhenti sampai di situ, pihaknya pun akan mengkurasi hasil tulisan mereka untuk kemudian dibukukan dalam buku antologi bertajuk
Ia berharap para pemenang Festival Tunas Bahasa Ibu pada gilirannya dapat menjadi penutur aktif yang menggunakan bahasa ibu mereka sebagai alat komunikasi tanpa paksaan, berkat media pengenalan dan pembelajaran yang menyenangkan.
“Kami berharap mereka memiliki rasa ingin mempelajari bahasa ibu dengan penuh sukacita dengan media yang mereka sukai sehingga kalau mereka sudah suka, nanti akan hadir ruang-ruang kreativitas dalam bidang bahasa dan sastra daerah,” tutup Hafidz.
Editor: Dadan Ramdani
Leave a Reply